GERAKAN RATU ADIL DI JAWA
GERAKAN RATU ADIL DI JAWA
Oleh:
Muhamad Rizky Dwi Agustin
Abstrak
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan
bagaimana munculnya gerakan Ratu Adil di pulau jawa serta bagaimana pengaruhnya
terhadap perkembangan rakyat jawa. Penulisan ini dilatarbelakangi Permasalah
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat bahwa bisa dikatakan hanya sedikit
sekali masyarak dewasa ini yang tahu dan mengerti tentang gerakan Ratu Adil itu
sendiri, padahal gerakan ini sebenarnya bisa dikategorikan sebagai gerakan
hebat yang menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia. Gerakan Ratu adil itu
sendiri merupakan sebuah gerakan Millenaris yang dimana sang tokoh dianggap
sebagai juru selamat (gerakan mesianisme).[1]
Kata Kunci: Ratu Adil,
Rakyat Jawa, Millenaris, Gerakan Mesianisme.
Pendahuluan
Konsep Ratu Adil menurut Sartono Kartodirdjo, muncul
manakala masyarakat Jawa menghadapi perubahan-perubahan sosial yang besar.
Keresahan di depan perubahan dan kerisauan menghadapi masadepan yang tak pasti
membuat orang Jawa mengharapkan Ratu Adil. Zaman yang bergolak penuh perubahan
adalah pertanda bagi munculnya Akhir Zaman dimana saat itu sang Ratu Adil akan
bertahta untuk menyeimbangkan lagi segala sesuatunya. Kartodirdjo Mengutip Serat Weda Tama dan Serat kala tida yang membicarakan
runyamnya zaman perubahan. “Retorika Kritik sosial seperti di canangkan oleh
Ranggawarsita dalam serat kala tida sangat
bernada moralistik sekaligus penuh sarkasme.
Amenangi jaman
edan : (mengalami masa gila)
Ewuh aywa in
pambudi: (serta menyulitkan akal)
Melu edan nora
tahan: (turut gila tidak tahan)
Baya kaduman melik:
(tidak mendapat bagian)
Yen tan melu
anglakoni: (kalau tidak nurut menjalankan)
Baya Kaduma
Melik: (Tidak mendapat Bagian)
Kalira
Wekasanipu: (Akhirnya Kelaparan)
Ndilalah karsa
Allah: (meskipun demikian menurut kehendak Tuhan)
Begja Begjane
kang lali: (Bagaimanapun bahagianya orang ynag lupa)
Luwih begja kan
eling lan waspada: (lebih bahagia orang yang ingat dan Waspada)[2]
Kajian temporal (masihkah sesuai
dengan zaman kita saat ini)
Diluar tafsir-tafsir politis atas Ratu Adil, adakah
sesuatu yang masih bisa diperbincangkan? Artikel berikut ini berusaha mencari
relevansi pembicaraan tentang Ratu Adil (Jawa). Dalam arti pa pembicaraan kuno
masih relevan bagi kita saat ini? Bahasa Mitologi dan Theologi sangat kental.
Selain dianggap sebagai sesuatu yang tradisional, mistis dan magis, apakah
mitos masih bisa dikaji dari sisi lain?
Konsepsi kuno dan Magis
Wacana Ratu Adil menurut Sartono Kartodirdjo
merupakan pencarian solusi yang bersifat “restoratif, Redemtif dan milenaristis[3]”.
Ratu Adil adalah gambaran rakyat akan datangnya era keemasan, sebuah utopia,
namun anehnya, utopia yang dipakai beraasal dari masa yang terlampau jauh.
Mengapa demikian? Menurut Sartono Kartodirdjo yang khas dalam masyarakat
Tradisional, tidak ad aide yang sungguh-sungguh futuristic. Masyarakat
tradisional hanya memproyeksikan sebuah “pre-established
harmony” sebagai gambaran ideal mereka.
Ide tentang Ratu Adil menggambarkan konservatisme
masyarakat tradisional yang hanya mengerti bagaimana memelihara dan menjaga (Conservare) apa yang sudah ada.
Masyarakat tradisional bingung dan tiak tahu mesti bagaimana menghadapi perubahan, sehingga
mereka menyebutnya zaman Edan. Dan kenyamanan
hanya diperoleh bila masyarakat kembali ke era lampau, ke zaman generasi tua,
era dimana tatanannya dianggap sudah ideal. Maka dari itu, menurut Sartono
Kartodirdjo “konstruksi sosial realitasnya juga berdasarkan pandangan hidup
kosmis-magis”. Figure mistis Ratu Adil muncul dalam sebuah waktu mitalogis
dimana kedatangannya akan membawa era magis Millenium (Zaman kesejahteraan).
Bila dihadapkan dengan kenyataan modern, maka
penilaian Sartono Kartodirdjo “dengan demikian tidak mungkin diharapkan
konstruksi sosial dari realitas yang didasarkan atas rasionalitas sejarah dan
teknologi, ketiga faktor yang menggantikan misteri, mitos dan magis dari
masyarakat tradisional[4]”.
Sebagai gerakan sosial, biasanya gerakan ratu adil
disertai dengan gerakan protes yag keras dimana peranan pemimpin sangat
menonjol. Para petani bisa bergerak dakam pertempuran di sekitar figur seorang
kyai, haji, guru tarekat atau Ratu Adil yang mana pemimpin tersebut berasal
dari golongan masyarakat elit pedesaan dan kelas sosial yang berbeda. Dengan
corak seperti itu bisa dibayangkan kerasnya gerakan seperti ini didepan
kekuasaan yang dipersepsi sebagai sumber zaman edan. Karena klaim-nya
berdasarkan wahyu, maka loyalitas para pengikut bersifat mutlak dan total, dan
konfrontasi yang dibangun terhadap kekuasaan yang dianggap tidak legitim
bersifat radikal.
Sifat mistis dan magis dari gerakan diseputar Ratu
Adil, bila dikontekskan lebih luas merupakan perwujudan dari harapan messianik.
Sebagai contoh kisah bangsa yahudi yang terus tertindas dalam tradisi kitab
suci agama-agama kristiani mencerminkan harapan yang tidak pernah putus akan
lahirnya mesias (semacam figur yang dijanjikan Allah untuk memutus rantai
penindasan). Selain harapan yang
sifatnya religius, kadang penantian akan mesias
akan dijalankan dengan pro-aktif lewat pemberontakan0-pemberontakan politis.
Beralih pada kebiasaan orang Jawa, Sejak
berabad-abad dalam alam pikiran orang Jawa pada umumnya ada suatu keyakinan
terpendam mengenai adanya seorang Ratu Adil yang akan tiba membawa keadilan dan
ketentraman di dunia ini. Sejarah politik Jawa yang selama berabad-abad
ditandai dengan adanya gejolak-gejolak yang telah mengakibatkan kesengsaraan
pada penduduk pedesaan, dapat dianggap sebagai akibat dari adanya tema yang
tetap hidup dalam sistem keyakinan orang jawa[5].
Gaya hidup dan tata cara sopan santun orang Jawa yang sejak berabad-abad
mengutamakan pergaulan antar manusia dan keharmonisan hidup, membuat mereka
mengembalikan suasana konkret yang dihadapinya pada kekuatan di luar dirinya.
Ratu Adilisme merupakan suatu
kekuatan sosial yang mendorong ke arah tindakan-tindakan untuk mengubah
situasi. Situasi hendak diubah, karena telah dipandang sebagai situasi yang
krisis, penuh dengan penderitaan, kesengsaraan, kelaliman, singkatnya
menunjukan dekadensi dan korupsi. Sangat dirasakan perbedaan besar antara dunia
dalam realitas dengan dunia ideal. Kesadaran akan hal ini menimbulkan harapan
akan perubahan yang mendatangkan keadilan dan kemakmuran, renovasi dan regenerasi.
Harapan ini sering kali membangkitkan sentimen revolusioner, yang dapat
diperbuat oleh ideologi keagamaan, seperti perang sabil melawan orang-orang
kafir[6].
Dalam gerakan Ratu Adil, ramalan
mempunyai peranan yang cukup penting. Bahkan ramalan tentang kedatangan Ratu
Adil telah begitu mendalam tertanam dalam hati masyarakat Jawa, sehingga dalam melancarkan
aksinya, masyarakat cendrung mengaitkan dengan kedatangan Ratu Adil tersebut.
Adapun yang sampai sekarang masih merupakan pegangan bagi masyarakat Jawa dan
cukup menonjol peranannya adalah Serat
Jayabaya. Bukti-bukti yang sampai sekarang ada menunjukan bahwa Serat Jayabaya
berasal dari kira-kira abad XVIII yang populer selama abad XIX[7].
Ramalan-ramalan mengenai datangnya Ratu Adil yang kemudian disebut dalam
berbagai buku primbon dan suluk serta syair-syair yang berisi unsur-unsur
pendidikan dan moral dari pujangga kraton abad XVIII, semua mengandung suatu
tema yang serupa. Syair-syair itu dikarang pada waktu kebudayaan dan masyarakat
Jawa mengalami suatu krisis yaitu “zaman edan”, ketika timbul wabah penyakit,
bahaya kalaparan, kejahatan, tindakan sewenang-wenang dan korupsi, dan ketika
orang lebih mementingkan kekayaan material daripada hal-hal yang lain dan suka melanggar
hukum, adat istiadat, tata cara, sopan santun, maka saat itulah Ratu Adil akan
muncul. Ia digambarkan sebagai seorang raja yang telah menerima wahyu dari
Tuhan.[8]
Kepercayaan Masyarakat
akan Munculnya Ratu Adil
Gagasan tentang zaman yang terkandung dalam ideologi Ratu Adilisme
merupakan kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat tradisional yang pada waktu
krisis dapat menjadi aktual dan kekuatan dinamis.[9]
Ratu Adil adalah salah satu mitos Jawa. Mitos itu adalah sebagai suatu sikap
loyalitas orang Jawa pada Yang Illahi, ketika merasa pesimis dalam kekacauan
dan dalam menghadapi pembaharuan yang kemudian ditampakkan dalam suatu gerakan
yang menunjukan pada suatu dukungan terhadap suatu pergantian kekuasaan, yaitu
mendukung “perpindahan wahyu Illahi” yang diharapkan dengan perpindahan itu
suasana kehidupan dapat diperbaiki. Ide penantian terhadap Ratu Adil itu
direalisir dalam keikutsertaannya mendukung perpindahan wahyu tersebut. Dengan
kata lain, sikap mendukung kuasa baru itu disponsori oleh pemunculan seorang pemimpin
yang dianggap sudah “sah”. Oleh karena itu, figur Ratu adil merupakan sesuatu
yang konkret dalam pemikiran Jawa. Berdasarkan pemikiran itu, zaman edan tidak
mungkin diubah dengan cara lain kecuali menanti tokoh Ratu Adil tersebut. Untuk
merealisasikan perubahan zaman tersebut diperlukan suatu gerakan, yang ditopang
oleh seorang pemimpin, yang dianggap sebagai Ratu Adil, yang mampu untuk mewujudkan
penantian tersebut.
Dalam Ramalan Jayabaya, penantian tersebut menemukan bentuknya
yang konkret seperti halnya Herucakra, yaitu raja yang bersifat mistis, yang
mengubah zaman edan menjadi zaman gemilang, Tata tentrem kerta raharja dimana
hukum Illahi diberlakukan sehingga orang Jawa dimungkinkan dapat menghayati
kehidupannya yang penuh keselarasan, ketertiban, dan keharmonisan.
Salah satu wujud letupan mesianistis yang terjadi di Jawa
pada abad XIX menemukan bentuknya dalam suatu pemberontakan yang terjadi pada tahun
1825-1830 yang biasa disebut sebagai “Perang Jawa.” Adapun latar belakang
perang tersebut dapat ditelusuri dari permasalahan-permasalahan sosial dan
ekonomi yang muncul di samping akibat konflik intern keluarga kraton dan
maraknya ikut campur dan penindasan kolonial Belanda pada saat itu.
Tampilnya seorang pemimpin kharismatik yang kuat dalam diri Pangeran
Diponegoro (1785-1855), yang tegak sebagai seorang Ratu Adil Jawa, dengan
ciri-ciri keimanannya telah berhasil menghimpun banyak unsur-unsur sosial yang
mengalami keputusasaan.
Seribu satu pengharapan yang sudah menyebar luas, telah
berhasil menangkap angan dan cita para petani serta bertindak sebagai sebuah katalisator
bagi keluhan-keluhan, beban-beban dan penderitaan sosialekonomi yang sudah
menumpuk terus sejak permulaan abad tersebut. Konsep perang sabil (perang suci)
sebagai suatu hasil yang mereka peroleh dari gambaran wayang Jawa (pertunjukan
bayangan boneka) serta sentiment-sentimen penduduk asli, yang terdiri dari
kedambaan yang begitu mendalam akan kedambaan yang begitu mendalam akan
pemulihan suatu tatatanan masyarakat tradisional yang dicita-citakan. Semuanya
itu saling membantu untuk menempa suatu identitas bersama di kalangan para pengikut
Diponegoro; menghimpun dalam suatu wadah bersama para bangsawan,
pejabat-pejabat daerah yang diberhentikan, guru-guru keagamaan, bandit-bandit
profesional, para buruh pengangkat barang, buruh harian, para petani dan
tukang. Dengan demikian, perang Jawa tersebut mempunyai arti yang sangat
mendalam, oleh karena jalinan-jalinan halus yang terwujud antara
keluhan-keluhan, beban serta penderitaan ekonomi dan seribu satu
harapan-harapan untuk hari esok, telah melahirkan suatu pergerakan dengan luas
ruang lingkup sosial yang khas.
Munculnya Pangeran Diponegoro Sebagai Ratu Adil
Pangeran Diponegoro adalah putra sulung dari Sri Sultan
Hamengku Buwoo III dan seorang selir bernama Raden Ajeng Mangkarwati. Ia lahir pada
hari Jum'at 11 November 1785. Semasa kecil ia bernama Antawirya[10].
Sejak berumur 6 tahun ia selalu tinggal di desa Tegal Reja bersama nenek
buyutnya Ratu Ageng, istri Hamengku Buwono I. Didikan neneknya yang
berlandaskan agama Islam mendorong ia untuk lebih dekat dengan rakyat. Apalagi
rakyat pada waktu itu sedang menderita, akibat peraturan-peraturan kompeni yang
sangat memelaratkan dan menindas rakyat.
Suatu ketika Sultan Hamengkubuwono I alias Sultan Swargi yang
terkenal (dan dijunjung tinggi oleh rakyat Yogyakarta sebagai pendiri dan pembina
kerajaan Yogyakarta serta tokoh sejarah yang berjiwa besar menitahkan agar bayi
yang baru dilahirkan itu dibawa kepada baginda. Baginda memperhatikan bayi itu,
lalu beliau bersabda:
"Adinda, ketahuilah bahwa adalah kehendak yang Maha
Kuasa bahwa
cicit adinda ini telah ditentukan untuk kelak memusnahkan
orang-orang
Belanda, anak ini akan melebihi saya, peliharalah ia dengan sebaikbaiknya."
Kehendak Sultan itu dipenuhi dan ditaati oleh Sri Ratu dan
bayi itu kemudian terkenal dengan nama Pangeran Diponegoro.
Sejak kecil Pangeran Diponegoro mendapat pendidikan agama
dari Ratu Ageng yang terkenal sebagai seorang yang taat dan shalih. Di bawah asuhannya
Diponegoro mempelajari dan memperdalam ilmunya dengan pelajaran agama serta
mengisi jiwanya dengan pelajaran kebatinan. Kitab-kitab Jawa kuno yang banyak
mengandung pelajaran keagamaan dan hukum-hukumnya serta pelajaran keluhuran
rohani banyak dipelajari dan dipahami olehnya. Ia juga terkenal sebagai seorang
yang sederhana hidupnya, saleh dan taat menunaikan kewajiban agamanya.
Dalam kedudukannya sebagai seorang pangeran, hal yang tampak paling
menonjol pada dirinya adalah pakaiannya yang khas, yaitu pakaian yang biasa
digunakan oleh ulama Makkah pada masa itu. Ia telah menggunakan pakaian itu
sebelum perang. Dalam babad yang ditulis oleh Adipati Cakranegara I (1830-1862)
dipaparkan bahwa Diponegoro mempunyai sifat adil, tidak membeda-bedakan
pengikutnya, dan mempunyai perhatian yang besar terhadap rakyat kecil.
Dalam Babad Diponegoro, tampak bahwa ia tidak senang melihat kemungkaran
yang terjadi di Kraton Yogyakarta akibat pengaruh Belanda. Di hatinya selalu
bergelora keinginan untuk menegakan yang haq dan menghapus yang batil. Ketika
ia menyaksikan kemunkaran, kemerosotan moral, kesewenang-wenangan penguasa
istana, penetrasi Belanda yang dipandangnya sebagai kafir, penindasan terhadap
kecil, timbulah rasa benci di hatinya dan berkobarlah semangatnya untuk membela
agama dan menegakan kebenaran.
Diponegoro senang sekali berkelana. Ketika mengembara ia memakai
gelar Syaikh Ngabdulrahim, kemudian Syaikh Ngabdul Hamid, dan bertapa di
gua-gua. Sejak berumur 20 tahun ia senang berkelana. Kegemaran Diponegoro
ketika berkelana adalah menjelajahi masjid, bergaul dengan para santri kecil.
Kalau suatu ketika ketahuan oleh guru santri, ia berpindah dari satu pesantren
ke pesantren yang lain. Apabila ia telah bosan, ia pindah lagi berganti pergi
ke hutan, gunung, jurang, dan guagua.
Seringnya Diponegoro mengembara dan mencari kesunyian
sematamata untuk memperoleh kekuatan jiwa dan mempertebal semangatnya dalam
memenuhi tugasnya yang suci terhadap rakyat dan tanah air yang dicintainya dan
terhadap agama yang dimuliakannya. Hasrat untuk mendekatan diri pada sang Maha
Pencipta tampak pada sikap Diponegoro yang menyingkir dari Kraton, yang
dianggapnya telah ternoda, dan mendekatkan diri dengan orang-orang yang ahli agama.
Perasaan keterasingan yang dirasakannya terhadap suasana
kraton bukan saja semakin menjauhkannya dari kraton dan mendekati kehidupan pesantren,
tetapi juga melahirkan gagasan untuk melahirkan motif perjuangan sebagai usaha
untuk memulihkan kembali agama Islam. Corak hidup pesantren dan rumusan tujuan
perjuangan ini adalah salah satu faktor yang menyebabkan Diponegoro mendapat
dukungan dari orang agama, para kyai dan santri.
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa Diponegoro melalui
tapa brata telah mengikuti model tradisi kerajawian secara konsisten. Karena ia
telah berusaha meninggalkan diri dari kehidupan materi menuju ke titik nol, yaitu
manunggaling kawula-gusti, untuk menjadi calon raja. Melalui cara itu pula ia
berhasil menangkap masukan dari bidang esensial-imanen. Bukti yang dimilikinya
untuk membenarkan bahwa ia menyandang titah adalah panah saratoma, panah wasiat
Arjuna satria Pandawa yang cakap, sakti dan gagah berani. Usaha Pangeran
Diponegoro untuk mewujudkan secara konsisten prinsip manunggaling kawula-gusti
juga terlihat pada waktu ia memulai perlawanannya terhadap Belanda. Ketika itu
ia menyuruh istrinya membagi-bagikan seluruh perhiasan mas, intan, dan berlian
yang dimilikinya kepada para pengikutnya. Melalui tindakan ini ia melepas materi
dan mendekatkan diri pada rakyat yang juga miskin tanpa kuasa pada materi.
Tindakan ini bersama atribut keagamaan dan kebangsawanannya seolah-olah
mencerminkan tokoh Ratu Adil idaman orang Jawa.
Diponegoro berusaha mengembangkan agama Islam, tetapi analisa
dan metodenya belum seperti analisa dan metode kaum modernis dan nasionalis
selama abad XX. Diponegoro menyebut dirinya "Sultan Ngabdulkamid Herucakra
Kabirulmukminin Kalifatullah Rasulullah Hamengku Buwono Senapati Ingagala
Sabilullah Ing Tanah Jawa." Dunia pikirannya
pada saat itu bercampur dengan pikiran tentang ratu adil, begitu juga para
pengikutnya.
Melihat cara hidup Pangeran Diponegoro yang sangat sederhana
dan usaha-usaha yang dilakukannya untuk membela dan memperjuangkan kepentingan
rakyat yang tertindas, maka tidaklah mengherankan jika ia sangat dihormati dan
dicintai oleh rakyat. Bahkan Belanda pernah menjanjikan uang 500.000 perak dan
pangkat bergaji, tanah dan gelar bangsawan yang tertinggi bagi siapa yang dapat
menangkap Pangeran Diponegoro hidup atau mati, namun rakyat tidak juga berubah
dan tidak tergiur dengan imbalan itu.
Dengan gelar Ratu Adil yang diberikan rakyat padanya, ia
berhasil membangkitkan rasa kesetiaan dan kasih sayang di kalangan penduduk Jawa
Tengah dan Jawa Timur walaupun banyak dari para pengikutnya yang sama sekali
tidak pernah berkesempatan berhubungan secara pribadi dengannya.
Aspek lain dari Ratu Adil yang memiliki daya tarik yang
sangat kuat bagi kelompok-kelompok keagamaan adalah pandangan bahwa Pangeran
itu sendiri akan mengangkat dirinya sebagai pengatur agama di pulau Jawa dengan
gelar Sultan Abdulkamid Herucakra Sayidin Panatagama Kalifah Rasulullah. Di
damping itu, sosok Diponegoro sebagai pemimpin yang kharismatis mampu
mengobarkan semangat pada rakyatnya untuk menentang pemerintah kolonial.
Karena begitu banyaknya rakyat yang frustasi dalam kegagalan mencapai
tujuan-tujuan yang mereka yakini sendiri pantas untuk diwujudkan, sehingga
memunculkan reaksi berupa letupan atau pergolakan politik-sosial.115 Perlawanan
Pangeran Diponegoro bersama rakyat didukung oleh ideologi jihad sebagai sumber
petunjuk untuk menjelaskan dan bertindak menghadapi hal yang tidak memuaskan
dan memprotes penetrasi kebudayaan Barat. Ideologi jihad memberikan tafsiran
kepada rakyat tentang realitas baru yang diciptakan oleh kolonialisme dan juga memberikan
pembenaran bagi tindakan kekerasan yang ingin mereka lancarkan. Ide jihad itu
berakar di dalam masyarakat Islam yang memberikan sarana agitasi politik dan
menentukan tindakan-tindakan kekerasan sebagai tanggapan yang dapat dibenarkan
oleh sejarah terhadap penindasan oleh kekuasaan kafir.
Harapan masyarakat akan perubahan muncul dari kondisi-kondisi
sosial dan ekonomi yang sangat sulit, yang diakibatkan dari kebijakankebijakan pajak
Belanda yang membebani mayarakat bawah, serta gaya hidup bangsawan yang sudah
tidak lagi perduli dengan kesengsaraan rakyatnya, karena terpengaruh oleh
orang-orang Belanda. Harapan-harapan itu seakan mendapat tempat pada tokoh
Diponegoro, yang kelak menjadi tokoh yang diagung-agungkan akan membawa
perubahan.
Kesimpulan
Mayarakat Jawa sering kali mengaitkan Ratu Adil dengan Parbu
Jayabaya, yang merupakan kerajaan Daha Kediri yang berkuasa pada 1135-1157 M. Pada
masa pemerintahannya Kediri mencapai puncak kejayaannya. Jayabaya mewariskan
beberapa karya sastra Jawa Kuno, yang kemudian dilanjutkan oleh
pujangga-pujangga masa Surakarta seperti Yasadipura I, Yasadipura II, dan
Ranggawarsita. Dalam karya-karya sastra itu banyak menyebutkan bahwa
penderitaan yang mereka alami, seperti meningkatkan beban pajak, harga hasil
bumi merosot tajam, hukum dan pengadilan tidak berjalan semestinya, syariat
Tuhan tidak lagi dijalankan, banyak orang akan tersingkir dan orang jahat akan
berkuasa, pemerintahan tidak berjalan dengan baik dan rakyat semakin sengsara,
banyak terjadi bencana alam, dan krisis-krisis sosial lainnya, akan hilang
dengan datangnya Ratu Adil. Hal ini termuat dalam Kitab Muassar karya Prabu
Jayabaya. Dengan demikian, Ratu Adil, dalam tradisi Jawa lebih bersifat
politis, meskipun ada sedikit sebagai gerakan mistis (kebatinan).
Adapun pengaruh dari mitos Ratu Adil dalam perang Jawa dapat
dilihat dari munculnya tokoh kharismatis, “wali Tuhan” yaitu Pangeran Diponegoro
yang mampu menangkap seluruh penderitaan dan kesengsaraan rakyat, sehingga
melalui kharismanya ia mampu berfungsi sebagai pemikat massa dan katalisator
atas keluhan dan penderitaan tersebut, sekaligus sebagai sentral penampung ide,
harapan bagi terciptanya kehidupan yang adil dan makmur sejahtera. Melalui
mitos Ratu Adil ini juga, rakyat bagaikan tersulut semangatnya untuk berperang
mempertahankan harga diri, keadilan, dan kesejahteraan, adat istiadat dan
agamanya, karena Ratu Adilisme muncul menjadi satu gerakan revolusioner yang
diikuti ide jihad fi sabilillah sehingga mampu menjadi pengobar semangat
perjuangan dan mempercepat proses mobilisasi. Dampak dari mitos yang menemukan
bentuknya dalam satu perlawanan ini dapat dilihat dari kerugian yang terbesar
oleh Kolonial Belanda sebesar 20 juta gulden, di samping kehilangan para
serdadunya sejumlah 7000 serdadu,dan kebun-kebun koloni yang dirusak oleh
pasukan Pangeran Diponegoro.
DAFTAR PUSTAKA
Skripsi Agustin, S. D. (2009). Pengaruh mitos Ratu Adil dalam
perang Jawa. Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jaga , 36-42.
Kartodirdjo, S. (n.d.).
beberapa permasalahan spiritualitas dalam pembangunan nasional. 59.
Kartodirdjo, S. (2014).
pengantar sejarah indonesia baru 1500-1900 (dari emporium sampai imporium.
Yogyakarta: Ombak.
Kartodirdjo, S. (2005).
Sejak Indische sampai Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Kartodirdjo, S. (1959).
Tjatatan tentang segi-segi mesianistis tentang sejarah jawa. yogyakarta:
UGM.
Kartodirjo, S. (1984). Ratu
Adil. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Koentjaraningrat.
(1994). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Onghokham. (1984).
Agama dan tantangan zaman. Artikel Prisma , 38.
Sukamto, S. (1990).
ungkapan-ungkapan sejarah barat dan timur. Gramedia Pustaka , 58.
Tarumentor. (1967). Aku
Pangeran Diponegoro. Gunung Agung , 9.
Wibowo, D. S. (2014).
Ratu Adildan Ratu Filsuf di Jawa. Borobudur Writer and Cultural , 18-27.
Biografi Penulis:
Muhamad
Rizky Dwi Agustin, Namun Akrab disapa Iki. Pria kelahiran Bogor, 23 Agustus
1998 adalah seorang Mahasiswa Strata satu Jurusan pendidikan sejarah di
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa tahun 2016;
Alumni SMAN 1 Cibungbulang Kabupaten Bogor; Asisten laboratorium sosial
di universitas yang sama; juga terpilih sebagai Duta pendidikan Sejarah pada
tahun 2017; Nara hubung 085695891963 Alamat Komp. Permata serang blok X No 1A Rt 006 Rw 17 Kelurahan
Sumur Pecung Kota Serang. Artikel ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
sejarah Kolonialisme di Indonesia dengan Bapak Rikza Fauzan sebagai dosen
pengampunya.
[1] Sartono Kartodirjo, Ratu Adil, Jakarta: Penerbit Sinar
Harapan, 1984, Hlm. 9-10
[2] Sartono Kartodirdjo, Sejak Indische sampai Indonesia, Jakarta:
penerbit buku kompas, 2005 Hlm. 58
[3]
Sartono Kartodirdjo, beberapa permasalahan spiritualitas dalam pembangunan
nasional, Hlm. 59.
[4]
Sartono Kartodirdjo, beberapa permasalahan spiritualitas dalam pembangunan
nasional, Hlm. 60.
[5]
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta:
Balai Pustaka, 1994 Hlm. 332
[6] Sartono
Kartodirdjo, Tjatatan Tentang Segi-SegiMesianistis dalam Sejarah Jawa,
(Yogyakarta:
UGM, 1959), hlm. 16
[7] Onghokham,
“Penelitian Sumber-Sumber Gerakan Mesianis,” dalam Agama dan
Tantangan
Zaman, Pilihan
artikel Prisma 1975-1984, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 238
[8] Kontjaraningrat, Kebudayaan
Jawa, hlm. 334
[9] Sartono
Kartodirdjo, Ungkapan-ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur,
(Jakarta:
Gramedia Pustaka, 1990), hlm. 258
[10] Tarumentor, Aku Pangeran
Diponegoro, (Jakarta: Gunung Agung, 1967); hlm. 9
Komentar
Posting Komentar