Proses Modernisasi Di Bidang Politik, Sosial Ekonomi Sebagai Dampak Kolonialisme

BAB I
PENDAHULUAN

Asia Tenggara merupakan istilah kontemporer yang digunakan oleh Angkatan Perang Inggris-Amerika pada tahun 1941, yang berkedudukan di Ceylon dalam melawan tentara Jepang dalam perang dunia kedua. Orang Amerika menulis istilah ini dengan Southeast, sedangkan orang Inggris menulisnya dengan South East. Tetapi sebenarnya istilah ini sama saja, karena mengandung pengertian suatu wilayah entitas politik daratan Burma, Thailand, Vietnam, Laos, Kamboja, wilayah kepulauan Indonesia, Filiphina, Semenanjung Malaya dan daerah protektorat Inggris.
Asia Tenggara mendapat pengaruh kuat dari kedua kebudayaan, yaitu kebudayaan India dan kebudayaan China. George Coedes menggunakan istilah Indianisasi. Asia Tenggara sendiri adalah daerah tropis yang dilintasi garis equator dan dipengaruhi oleh musim Asia dan Australia.
Secara geografis Asia Tenggara terletak dan dikendalikan oleh dua Samudra India dan Samudra Pasifik. Kondisi ini membuat Asia Tenggara sangat strategis baik dari segi ekonomi, politik dan pertahanan. Dalam kawasan Asia Pasifik, Asia Tenggara tampak sekali kedudukannya yang penting, wilayah Asia Tenggara ini banyak mempunyai produksi petanian dan perkebunan yang sangat dibutuhkan orang-orang Eropa sejak abad ke-16. Itulah sebabnya perkumpulan dagang orang Eropa saling berkompetensi untuk merebut pengaruh politik di Asia Tenggara.
Bangsa Eropa pertama kali datang ke Asia Tenggara pada abad ke-16. Ketertarikan dibidang perdaganganlah yang umumnya membawa bangsa Eropa untuk datang ke wilayah Asia Tenggara. Dan disinilah timbul kolonialisme dan imperialisme dengan memperlihatkan terjadinya penaklukan atas hampir seluruh wilayah Asia Tenggara, yang dilakukan oleh kekukatan kolonial Eropa.
Dari kolonialisme dan imperialisme tersebut menimbulkan dampak yang besar terhadap Asia Tenggara. Selain itu, akibat adanya kolonialisme menimbulkan terjadinya modernisasi yang dialami oleh Asia Tenggara, baik dari segi politik maupun sosial ekonomi.
Berdasarkan latarbelakang diatas untuk lebih fokus maka dalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian ekonomi pertanian menurut teori J.C. Scott ? apa saja yang termasuk tanaman perdagangan di Asia Tenggara, bagaimana awal terjadinya eksplorasi tambang? bagaimana munculnya buruh migran ? bagaimana terbentuknya sekolah sebagai sumber tenaga terampil ? Apa yang dimaksud dengan sistem pemerintahan perwakilan di Asia Tenggara sebagai dampak modernisasi dibidang politik ? dan bagaimana terbentuknya birokrasi di Asia Tenggara sebagai dampak modernisasi dibidang politik ?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ekonomi Pertanian
Dalam kajian sosiologi, Moral Ekonomi adalah suatu analisa tentang apa yang menyebabkan seseorang berperilaku, bertindak dan beraktivitas dalam kegiatan perekonomian. Hal ini dinyatakan sebagai gejala sosial yang berkemungkinan besar sangat berpengaruh terhadap tatanan kehidupan sosial. J.C. Scott menyatakan bahwa moral ekonomi petani di dasarkan atas norma subsistensi dan norma resiprositas. Di mana ketika seorang petani mengalami suatu keadaan yang menurut mereka yang dapat merugikan kelangsungan hidupnya, maka mereka akan menjual dan menggadai harta benda mereka. Hal ini disebabkan oleh norma subsistensi.

James C. Scott menambahkan bahwa para petani adalah manusia yang terikat sangat statis dan aktivitas ekonominya. Mereka dalam aktivitasnya sangat tergantung pada norma-norma yang ada. Penekanan utama adalah pada moral ekonomi petani yang dikemukakan oleh James C.Scott yang menekankan bahwa petani cenderung menghindari resiko dan rasionalitas. 1. Pasar Kapitalistik di Asia Tenggara mengacaukan “Moral Ekonomi” Dalam Moral Ekonomi Petani: Pergerakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, Scott mengemukakan pertama kali teorinya tentang bagaimana “etika subsistensi” (etika untuk bertahan hidup dalam kondisi minimal) melandasi segala perilaku kaum tani dalam hubungan sosial mereka di pedesaan, termasuk pembangkangan mereka terhadap inovasi yang datang dari penguasa mereka. Itulah yang disebut sebagai “moral ekonomi”, yang membimbing mereka sebagai warga desa dalam mengelola kelanjutan kehidupan kolektif dan hubungan sosial resiprokal saat menghadapi tekanan-tekanan struktural dari hubungan kekuasaan baru yang mencengkam.
Tekanan struktural dari pasar kapitalistik, pengorganisasian negara kolonial dan paskakolonial, dan proses modernisasi di Asia Tenggara mengacaukan “moral ekonomi” itu dan menyebabkan kaum tani berontak. 2. Ekonomi Moral dengan Ciri Khas “Desa” dan “Ikatan Patron-Klien” Pendekatan ekonomi-moral menunjuk “desa” dan “ikatan patron-klien” sebagai dua institusi kunci yang berperan dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan anggota komunitas. Fungsi operasional desa adalah menjamin suatu ‘pendapatan minimum’, dan meratakan kesempatan serta resiko hidup warganya dengan jalan memaksimumkan keamanan dan meminimalkan resiko warganya.
Dalam fungsinya itu desa menerapkan aturan dan prosedur bagi terciptanya sebuah kondisi dimana warga desa yang miskin (siapa mendapatkan apa) akan tetap memperoleh jaminan pemenuhan kebutuhan subsisten minimum dengan cara menciptakan mekanisme kedermawanan dan bantuan dari warga desa yang kaya (siapa memberi apa). Desa akan memberikan jaminan kebutuhan subsisten minimum kepada seluruh warga desa sejauh sumber-sumber kehidupan yang dimiliki desa memungkinkan untuk melakukan itu. Institusi yang menjadi pasangan desa adalah ikatan patron-klien. Insitusi ini tercipta dalam kondisi sosial-ekonomi yang timpang: ada sebagian orang yang menguasai sumber-sumber kehidupan, sementara yang lainnya tidak. Ikatan patron-klien bersifat rangkap (dyadic), yang meliputi hubungan timbal-balik antara dua orang yang dijalin secara khusus (pribadi) atas dasar saling menguntungkan, serta saling memberi dan menerima (Legg, 1983:10).
Dalam ikatan ini pihak patron memiliki kewajiban untuk memberi perhatian kepada kliennya layaknya seorang bapak kepada anaknya. Dia juga harus tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan kliennya. Sebaliknya, pihak klien memiliki kewajiban untuk menunjukkan perhatian dan kesetiaan kepada patronnya layaknya seorang anak kepada bapaknya. Langgeng tidaknya sebuah ikatan patron-klien bergantung pada keselarasan antara patron dan kliennya dalam menjalankan hak dan kewajiban yang melekat pada masih-masing pihak dengan terjalinnya hubungan yang saling menguntungkan, serta saling memberi dan menerima.
Desa dan ikatan patron-klien ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Desa berperan dalam mengatur distribusi sumber-sumber kehidupan yang tersedia di dalam desa untuk menjamin tersediannya sumber-sumber kehidupan yang dibutuhkan warganya, sementara ikatan patron-klien menjadi institusi yang memungkinkan terjadinya distribusi kekayaan, sumber-sumber kehidupan di dalam desa, dari si kaya kepada si miskin melalui praktik-praktik ekonomi dan pertukaran-pertukaran sosial di antara warga desa. Jaminan yang diberikan desa dan ikatan patron-klien tertuju pada pemenuhan kebutuhan subsisten warga desa.
Secara tidak kasar, Scott (1983:4) menggambarkan perilaku subsisten sebagai usaha untuk menghasilkan beras yang cukup untuk kebutuhan makan sekeluarga, membeli beberapa barang kebutuhan seperti garam dan kain, dan untuk memenuhi tagihan-tagihan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dari pihak-pihak luar.
Perilaku ekonomi subsisten adalah perilaku ekonomi yang hanya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hidup paling minimal. Perilaku seperti itu tidak lahir dengan sendirinya atau sudah demikian adanya (taken for granted), melainkan dibentuk oleh kondisi kehidupan, lingkungan alam dan sosial-budaya, yang menempatkan petani pada garis batas antara hidup dan mati, makan dan kelaparan.
Kondisi yang membentuk etika subsistensi sebagai kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumber agraria, petani sangat rentan terhadap gangguan yang berasal dari alam, bencana, ancaman hama, cuaca dan sebagainya. Sementara sebagai warga komunitas desa, petani memiliki kewajiban untuk memenuhi tuntutan yang datang dari kekuatan supradesa, pungutan pajak, upeti dan sebagainya.
Kondisi yang sudah melingkupi kehidupan petani selama berabad-abad lamanya itu pada akhirnya membentuk pandangan hidup mereka tentang dunia dan lingkungan sosialnya. Pandangan hidup inilah yang memberi arah kepada petani tentang bagaimana menyiasati, bukan mengubah kondisi dan tekanan yang datang dari lingkungan alam dan sosialnya melalui prinsip dan cara hidup yang berorientasi pada keselamatan prinsip mengutamakan selamat dan menghindari setiap resiko yang dapat menghancurkan hidupnya.
Kondisi yang membentuk karakter dan ciri khas petani pedesaan sebagaimana terurai di atas telah melahirkan apa yang oleh Scott (1983:3) dinamakan “etika subsistensi”, yakni kaidah tentang “benar dan salah”, yang membimbing petani dan warga komunitas desa mengatur dan mengelola sumber-sumber kehidupannya (agraria) dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka di dalam komunitas. Dalam pilihan tindakan secara kolektif, prinsip moral menekankan: (1) Pengorbanan yang harus dikeluarkan termasuk risikonya, (2) Hasil yang mungkin diterima, bila menguntungkan maka mereka akan ikut bila tidak mereka bersikap pasif (3) Proses aksi yaitu dipertimbangkan tingkat keberhasilannya apakah lebih bermanfaat secara kolektif atau tidak, (4) Kepercayaan pada kemampuan pemimpin atau dapatkah sang pemimpin dipercaya atau tidak. Dengan demikian aksi-aksi kolektif yang dapat dinilai mendatang keuntungan bagi mereka saja yang diikuti atau didukung. 4. Sebab-sebab Munculnya Perlawanan Petani Pendekatan ekonomi-moral menjelaskan sebab-sebab atau prasyarat munculnya perlawanan petani, dan kemukakan dua hal menyangkut operasionalisasi pendekatan ini, paling tidak dalam studinya Scott (1983).
Pertama, pendekatan ekonomi-moral menempatkan “etika subsistensi” sebagai pusat analisis dalam memperoleh kejelasan tentang sebab-sebab dan prasyarat bagi terjadinya perlawanan petani. Kedua, yaitu dengan menyelami apa yang oleh Scott disebut ekonomi-moral petani, yakni konsepsi petani tentang keadilan ekonomi dan pegertian mereka tentang eksploitasi, batasan petani tentang pungutan-pungutan atas hasil produksi pertanian yang bisa dan tidak bisa ditoleransi. Dengan demikian, pendekatan ekonomi-moral menempatkan etika subsistensi dan ekonomi-moral petani pedesaan sebagai variabel yang dipengaruhi (dependent variable). Sebagaimana penjelasan di muka, kelangsungan hidup petani sangat tergantung, di satu sisi pada ketersediaan sumber-sumber kehidupan (agraria) di dalam desa; dan sisi lain pada institusi yang berfungsi mengatur proses distribusi sumber-sumber kehidupan itu secara adil dan merata di antara warga desa.
Kenyataan ketergantungan petani tersebut tidak berada dalam kerangka memaksimalkan pencapaian hasil (keuntungan), melainkan diarahkan sebatas memenuhi kebutuhan subsisten. Adil dan merata dalam konteks ini menunjuk pada sebuah kondisi di mana setiap orang (warga desa) memiliki kesempatan yang sama atas sumber-sumber kehidupan, aspek pemerataan, sebatas yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan subsisten dan tuntutan-tuntutan luar atas hasil pertanian, aspek keadilan. Aspek pemerataan dan keadilan inilah yang menjiwai etika subsistensi petani.
Dalam kondisi di mana sumber-sumber kehidupan, terutama tanah yang tersedia di dalam desa semakin terbatas jumlahnya karena tekanan jumlah penduduk dan proses modernisasi, apa yang diupayakan petani untuk memenuhi tuntutan pemerataan dan keadilan itu disebut sebagai gejala “shared poverty” (kemiskinan yang dibagi rata) dan “involusi pertanian” (Geertz,1983). Menurut pendekatan ekonomi-moral, gejala tersebut merupakan perwujudan kemampuan internal desa untuk menciptakan mekanisme pertahanan terhadap unsur-unsur luar yang akan merusak tatanan yang menjamin tetap terjaminnya kebutuhan subsisten petani.
Terciptanya kemampuan internal desa untuk membagi rata sumber-sumber kehidupan yang ada di dalam desa di saat tekanan atasnya meningkat sangat bergantung pada bekerjanya institusi ikatan patron-klien. Artinya, harus ada jaminan bahwa hubungan “memberi dan menerima” di antara warga desa yang kaya dan miskin berjalan sesuai dengan norma-norma sosial yang berlaku di dalam komunitas desa; dan prinsip-prinsip moral, seperti ketulusan (fairness) dan keadilan (justice) harus senantiasa menjiwai setiap hubungan sosial di antara warga desa.
Dalam kerangka ini, selain ikatan patron-klien berfungsi sebagai institusi yang memungkinkan terjadinya distribusi kekayaan di antara warga desa yang kaya dan miskin, juga memberi kontribusi bagi terciptanya tertib sosial di dalam desa. Argumentasinya, kelanggengan dan keberhasilan seorang patron dalam menjalankan peranannya bersandar kepada kualitas jaminan subsisten yang dia berikan kepada kliennya. Kehendak patron untuk memperoleh kemakmuran atau kekayaan bersandar pada usahanya untuk mempertahankan keabsahannya (legitimasi) di mata kliennya, yakni dengan cara mempertahankan jaminan subsisten mereka atas kliennya. Selama patron berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah moral (etika subsistensi) yang mengatur praktik ekonomi dan pertukaran-pertukaran sosial di antara warga desa, kemungkinan akan terjadinya kemarahan moral dan pemberontakan dari pihak klien akan dapat dihindari.
2.2 Pengenalan Tanaman Perdagangan
2.2.1.Burma Inggris

Seperti di tempat lain di Asia Tenggara kolonial, sistem ekonomi tradisional Burma bersifat swasembada, beragam dan rata-rata untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, pada masa pemerintahan kolonial sistem ini bergeser menjadi ekonomi berorientasi ekspor yang berkonsentrasi pada produksi beras dan hasil pertanian lainnya. Aneksasi Burma dan digabungkannya negeri itu ke dalam India Inggris “mengawinkan” kedua sistem ekonomi tersebut. Ini mendorong investasi signifikan dari para kapitalis India dan Inggris yang tertarik mengembangkan industri pertanian (persawahan), jaringan transportasi kayu, minyak bumi, karet, dan potensi pertambangan Burma. Para manajer di Burma juga melihat potensi di pasar barang-barang jadi dari Inggris dan India sedangkan produksinya dapat membantu memberi makan penduduk India.
Di bawah pengelolaan Inggris,daerah delta Irrawaddy mengalami pertumbuhan fenomenal sejak 1850-an hingga 1930-an, luas lahan budidaya meningkat dari kurang dari 400.000 hektare di masa pemerintahan raja Burma menjadi hampir 3,5 juta hektare. Land Revenue Act (UU Pajak Tanah) 1876 memperbesar kemungkinan untuk mendapatkan dan memanfaatkan tanah melalui kredit, memudahkan petani mengkalaim sebidang tanah setelah membayar bea selama satu tahun. Pembayaran ini berfungsi sebagai jaminan sehingga petani lokal bisa dengan mudah mendapatkan lebih banyak pinjaman untuk mencukupi kebutuhan alat-alat pertanian, bibit dan berfungsi pengeluaran lainnya.
Wajah baru ekonomi Burma tercermin pada munculnya keragaman etnis dalam koloni tatkala para imigran dari India Inggris dan Cina datang untuk ikut ambil peluang yang disediakan kelompok-kelompok kepentingan pasar kolonial. Aliran modal dari India dan London dan praktis menghubungkan ekonomi Burma dengan ekonomi dunia; dan Burma sama sekali belum berpengalaman menghadapi hal baru ini. Gagasaan baru menegenai biaya, nilai dan kebutuhan saling terkait dengan komoditasi produk dan bahan mentah guna memenuhi tuntutan yang seringkali diluar pikiran para petani biasa atau produsen lokal. Kebanyakan komoditas Burma yang baru terbentuk adalah para imigran India.
Secara umum, para pejabat di New Delhi dan Rangoon bersama para investor di London daa tempat lainnya memandang Burma sebagai tempat yang bagus untuk berbisnis. Berbarengan dengan ekspansi industri beras dan kayu, minyak bumi menjadi saalah satu kisah sukses ketika investor jalur pipa dibangun dari ladang-ladang minyak bumi dihulu sungai ke kilang-kilang bumi syriam. Antara tahun 1914-1942 investasi inggris melonjak hingga tiga kali lipat berkat kemajuan industri-industri ini, memperluas ekspor ke Eropa dan juga mndatangkan barang-barang jadi ke pasar-pasar di Rangoon, Mandalay daan kota-kota lainnya.
2.2.2.Negeri-Negeri Selat di Malaya Inggris
Selama dekade-dekade awal abad ke-19 kemajuan perekonomian di Malaya utamanya dipicu pendirian pelabuhan-pelabuhan bebas oleh Inggris di Negeri-Negeri Selat. Engllish East India Company (EEIC) mendirikan permukiman di Penang (1786), Singapura dan Malaka (1824).permukiman ini awalnya digunakan sebagai pangkalan angkatan lautuntuk menghambat kekkuatan Belanda di kawasan itu daan persingahn parapedagang ‘country’ Inggris yang berlayar bolak balik dalam rute peraganagan Cina-India sejak akhir abad ke-18.
Pelabuhan-pelabuhan bebas ini yang terletak di jalur pelayaran strategis Selat Malaka, dengan cepat menarik perhatian para pedaganng asing daan mengekspose Malaya terhadaap perdagangan dan perniagaan internasional. Pelabuhan-pelabuhan ini dengan cepat membangun jalur-jalur perdagangan dengan pelabuhan-pelabuhan lain disekitarnya yang berada di bawah kolonial Barat terutama di Hindia Timur Belanda. Tapi sayang sekali perdaganagan dengan negera-negara di daratan utama Asia Tenggara tidak ikut mengalami kemajuan sebelum Siam dan Indo-Cina Prancis menjadi lebih terbuka terhadap perdagangan internasional. Selain dengan kemajuan perdagangan, pelabuhan-pelabuhan Selat Malaka menarik minat perusahaan-perusahaan dagang Eropa untuk membuka kantor-kantor perwakilan disana.
Selain perdagangan, Inggris juga mendorong budidaya tanaman penghasil uang sebagai sumber pemasukan di Negeri-negeri Selat yang dalam proses nya menggunakan modal dari Eropa serta uang, manajemen dan kerjaan dari Cina. Budidaya rempah pala menjadi dominasi kemajuan dipulau tersebut tetapi juga hancur diserang hawar (hama). Di Malaka, kemajuan dibidang pertanian tehambat oleh kurangnya reformasi tanah kecuali pada industi tapioka yang berkembang pesat pada 1860-an. Buruknya kondisi tanah, naik turunnnya harga komoditas internnnsional, hama dan minimnya pengalaman menggagalkan setiap upayauntuk mengubah Negeri-negeri Selat menjadi surga petanian yang makmur dan mendatangkan bnayak uang. Negeri-negeri selat hanya sedikit memiliki lahan yang bisa digunakan untuk bercocok tanam.
2.2.3.Indo-Cina Prancis
Tujuan pokok kolonialisme adalah keuntungan ekonomi. Indo-Cina dan daerah jajahan Eropa lainnya,dimaksudkan unuk meraup keuntungan. Prancis menyebut konsep operasionalnya sebagai mise en valeur yang secara harfiah berarti bahwa suatu tempat yang sebelumya tidak bernilai harus dibuat menjadi ‘berharga’. Asumsinya, model eksploitasi sumber daya alam yang diperkenalkan oleh kaum kolonial tidak hanya akan menguntungkan pengeuasa saja tetapi juga yang dikuasai. Sejalan dengan hal ini Prancis menjajikan perbaikan infrastuktur (jalan dan rel kereta api) serta menyediakan pendidik dan layanan kesehatan.
2.3 Pembukaan Eksplorasi Tambang
Pada saat kolonialisasi, prospek Indo-Cina untuk menjadi pemasukan imperium tidak terlihat terlalu menjanjikan. Selain tambang yang besar di berbagai wilayah Vietnam dan Laos, tidak banyak sumber daya alam di Indo-Cina. Aktivitas utama perekonomian adalah perdagangan dan Saingon merupakan aset paling penting dalam konteks ini disamping beberapa pelabuhan Vietnam dan Phnom Penh. Namun, di wilayah koloni lain satu-satunya sumber daya yang tersedia hanyalah tanah dan secara umum bidang tanah yang dianngap tidak terlalu subur oleh penduduk lokal sudah digunakan untuk bercocok tanam.
Rezim kolonial kemudian menghadapi tantangan ganda. Pertama mereka harus menemukan cara untuk mendapat lebih banayak pemasukan dari tanah pertanian yang sudah dan hasil produksinya. Kedua, mereka berlomba memebuka daerah-daerah baru untuk budidaya-satu aspek terpenting mise en valuer. Komoditas pokok pertanian utama Prancis adalah beras. Pertumbuhan perdagangan beras regional menandakan keberadan pasaar dan jaringan perniagaan. Banayak petai Siam pada saat itu sudah terbilang maju dan bermotivasi untuk memajukan surplus.
2.2 Munculnya Buruh Migran
Pemerintah kolonial seakan-akan menjadikan penduduk pribumi sebagai orang-orang asing di tanah mereka sendiri. Kalau pada masa prakolonial orang-orang asing, baik orang-orang Eropa maupun orang-orang Asia, mendapat izin untuk berdagang dan memperoleh keuntungan atas kehendak raja-raja Asia Tenggara, maka dalam masyarakat majemuk kolonial peran itu telah berubah. Kalau dibawah sistem lama kebutuhan-kebutuhan ekonomi di tempatkan dibawah tuntutan-tuntutan politik dan sosial, maka kolonialisme modern pada umumnya menempatkan tuntutan-tuntutan ekonomi di atas segala-galanya. Penyusunan struktur sosial menjadi mozaik rasial buatan merupakan contoh yang paling jelas dari hal tersebut. Jika tidak demikian, maka imigrasi orang-orang asing secara besar-besaran, seperti yang terjadi di Myanmar dan Malaya, tidak akan terjadi.
Modernisasi ekonomi tidak hanya menguntungkan orang-orang asing, tetapi lebih buruk lagi, hal itu sebagian besar berlangsung di luar masyarakat pribumi seluruhnya. Kebanyakan bangsa-bangsa Asia Tenggara menjadi penonton-penonton yang pasif, sementara bangsa asing dibentuk dunia baru di sekeliling mereka tanpa melibatkan mereka. Khususnya golongan penguasa, mereka semakin tidak ada kaitannya dengan sistem-sistem kolonial modern.
Hal itu khususnya memang benar mengenai kaum bangsawan di kerajaan-kerajaan yang paling dalam terpengaruh kebudayaan India, status mereka bergantung pada kebaikan raja, bukan pada kekayaan yang dimiliki secara bebas, baik yang berupa tanah ataupun yang lain. Di daerah-daerah itulah pula seluruh kebudayaan dan sistem-sistem nilainya mungkin paling sukar untuk disesuaikan dengan pembaharuan-pembaharuan dalam bidang ekonomi dan teknologi. Kebalikannya beberapa anggota kaum bangsawan di Vietnam yang telah menghirup kebudayaan Cina, meskipun ada rasa permusuhan dan pemisahan yang jelas dari pihak monarki yang bercorak Konfusius beserta pegawai-pegawainya, namun sekurang-kurangnya memiliki basis yang kuat, yaitu dengan memiliki tanah yang memungkinkan penyesuaian terhadap peluang-peluang ekonomi baru.
Di Cochincina, dimana tehnik pengairan dan permodalan Prancis memungkinkan untuk membuka tanah-tanah baru yang sangat luas bagi penanaman padi dan pohon karet, terbentuklah golongan borjuis di pedalaman Vietnam, yang turut ambil bagian dalam kemakmuran dibidang pertanian yang baru bersama-sama dengan golongan elite kolonial yang berkulit putih. Demikian pula halnya di Filipina, di mana modernisasi di bidang ekonomi telah ada sejak berlangsungnya pemerintahan Spanyol, dan dimana untuk hal itu nilai-nilai budaya tidak menghalang-halangi jalannya perubahan, sehingga dengan demikian yang baru dibagi antara pemilik-pemilik tanah bangsa Barat, penduduk pribumi, dan golongan mestizo (kebanyakan mestizo Sino Fillipino). Sehubungan dengan itu, peranan bangsa Asia asing di dalam ekonomi Vietnam dan Filipina, misalnya, dalam peminjaman uang kepada golongan petani secara proposional jauh lebih kecil dari pada di daerah lain di Asia Tenggara.
Meskipun ekonomi kapitalis terutama menguntungkan orang-orang asing dan melampaui golongan-golongan penguasa yang terdahulu, namun sebagian besar bangsa Asia Tenggara telah terlibat ke dalam orbitnya. Di dalam masyarakat majemuk yang baru, maka perubahan sosial juga terjadi di antara penduduk-penduduk pribumi. Migrasi petani secara besar-besaran dalam kenyataannya hal itu tidak berbatas pada tanah-tanah delta dari Asia Tenggara daratan saja, menunjukan bahwa orang-orang desa dapat bereaksi terhadap dorongan ekonomi. Faktor-faktor yang menggerakkan mereka untuk berpindah ke daerah-daerah baru ialah daya tarik tanah-tanah baru dan subur serta untuk memperoleh keuntungan finansial yang dikombinasikan dengan harapan akan kepastian hukum dan keamanan.
Akan tetapi, revolusi demografis tidak diikuti revolusi ekonomi atau teknologi yang sebenarnya. Meskipun pemukiman-pemukiman bangsa Myanmar beralih dari pertanian yang berpindah-pindah kepertanian yang menetap, namun perbatasan baru itu bukannya melahirkan golongan pemilik tanah Asia Tenggara, melainkan hanya membuktikan adanya perluasan teknik-teknik pertanian kuno.
2.3 Terbentuknya Sekolah Sebagai Sumber Tenaga Terampil
2.5.1 Burma Inggris

Kemajuan Burma ditandai tumbuhnya kelas menengah baru. Prioritas dan tuntutan-tuntutan baru di sektor ekonomi dan pemerintahan melahirkan pekerjaan-pekerjaan baru. Kelas menengah muncul dari konvergensi kebutuhan antara elite lama dengan pemerintah kolonial baru. Sejak 1852 jabatan-jabatan diberikan kepada para eks pangeran, menteri dan pejabat lokal yang dengan mudah menyesuaikan diri terhadap kebutuhan pemerintah Inggris. Setelah menerima jabatan dari pemerintah Rangoon, banyak dari mereka yang berinvestasi atau meminjam uang untuk investasi di bidang bisnis dan tanah.
Ketika nilai tanah meningkat atau tanah yang mereka miliki bertambah dari hasil penyitaan, keluarga-keluarga ini menjadi kaya raya dan kuat. Tanpa beban mereka dapat mengirimkan anaknya ke luar negeri untuk mendapatkan pendidikan elite; asumsinya, anak-anak itu akan meraih posisi yang sangat menguntungkan setelah mereka kembali. Perguruan tinggi lokal pun didirikan sehingga mereka tetap tinggal di Burma guna menempuh pendidikan lebih tinggi. Ini semakin berkontribusi pada pertumbuhan dan pengaruh keluarga elite ini.
Sekolah-sekolah Buddha non-rohaniawan yang dengan kurikulum yang didasarkan pada sekolah misionaris dan sekolah Inggris lainnya memasukkan kurikulum yang relevan dengan ekonomi dan pemerintahan baru. Salah satu institusi semacam itu Sam Buddha Gosha Anglo-Vernacular High School didirikan pada 1897 di Molmein, ujung tenggara Burma. Setelah itu, sejumlah sekolah lain yang dikelola pejabat dan asosiasi sekuler mulai dibangun. Sekolah-sekolah ini berupaya membahas isu modernitas melalui idiom-idiom Buddha. Para pelajar pada 1906 mendirikan Young Men’s Buddhist Association (YMBA, Asosiasi Pemuda Buddha) yang dengan jelas mengikuti model Young Men’s Christian Association yang didirikan di London pada 1884. YMBA pada awalnya tertarik membahas agama tetapi ketertarikannya segera berkembang pada isu-isu politik dan kebudayaan.
Pada akhir abad ke-19 kelompok-kelompok pya-zat berkeliling ke sisa wilayah kerajaan merdeka. Mereka bahkan tak segan memasuki wilayah yang baru dianeksasi Inggris yaitu Burma Bawah. Pertunjukan boneka, pementasan musik dan bentuk hiburan lainnya berkontribusi pada integrasi budaya yang telah berlangsung selama berabad-abad, yang perlahan berkembang menjadi serangkaian ide yang nantinya diasosiasikan dengan orang Burma.
Literasi (kemampuan membaca dan menulis ) masih sangat terbatas. Pemerintah kolonial mulai mendirikan sekolah-sekolah berbahasa pribumi untuk para elite sejak pertengahan abad. Tingkat literasi dalam bahasa pribumi di Indonesia pada sensus 1930 bahwa hanya 7,4% dan tingkat literasi dalam bahasa Belanda hanya 0,3%. Indonesia di abad ke-19 tidak hanya menyambut baik modernisasi dan gaya Barat karena elite yang terinspirasi oleh Islam juga mengalami penguatan. Di Jawa, Sistem Tanam Paksa didasarkan pada pekerja wajib. Namun, terbuka kesempatan bagi para pengusaha pribumi dalam bidang lainnya untuk ikut andil seperti transportasi, pelayaran, perikanan, hiburan, pandai besi, tukang bangunan, pengadaan barang.
Sensus yang dilakukan di Jawa pada tahun 1900 melaporkan bahwa 16% pria secara ekslusif bekerja dalam bidang non-pertanian. Mereka berprofesi sebagai pejabat,guru, tokoh agama, pedagang, nelayan, pekerja pabrik, perajin, penarik gerobak, dan pengirim atau penerima barang dan seterusnya sementara 15% lainnya menjadi pekerja paruh waktu. Muncul lah kelas menengah niaga Jawa yang sering menjalin hubungan dengan komunitas pedagang Arab di kota pesisir. Orang Arab termasuk pendukung gerakan reformasi Islam Timur Tengah. Lebih penting lagi, kelas menengah Jawa ini mampu menunaikan ibadah haji di Mekkah dan bergabung dengan para reformis Islam secara langsung. Di pulau-pulau lain, kesempatan berniaga juga memungkinkan tumbuhnya kelas menengah Islam Pribumi.
2.6 Sistem Pemerintahan Perwakilan dan Terbentuknya Birokrasi
Efek yang lambat dan kumulatif sebagai akibat penetrasi Barat terhadap aspek-aspek demografis dan sosial lainnya dari kehidupan Asia Tenggara sangatlah bertentangan dengan konsekuensi politik yang dramatis dan dapat dilihat dengan jelas. Sebelum membicarakan faktor-faktor internal harus diingatkan bahwa dengan melalui kekuasaan Barat, Asia Tenggara telah disatukan ke dalam sistem dunia baru, yaitu ke dalam sistem kekuasaan-kekuasaan Atlantik.
Meskipun kekuasaan-kekuasaan itu terpecah-pecah dan menimbulkan pertikaian-pertikaian yang memakan waktu yang lama mengenai wilayah-wilayah Asia Tenggara menunjukan kerapuhan internal dengan jelas, namun mereka bertindak dalam lingkungan sistem dunia yang berkisar pada ekonomi dunia. Tatanan Atlantik itu telah mendesak sistem Asia Timur terlebih dahulu yang terpusat di kerajaan Cina.
Selama berabad-abad Cina hanya berfungsi secara de jure sebagai kekuasaan yang berdaulat di sebagian besar daerah Nanyang (laut-laut selatan). Bukanlah merupakan suatu kebetulan bahwa berakhirnya supremasi Barat bersamaan dengan kemunduran Cina, atau disebabkan oleh pihak Asia Timur lain untuk menguasai daerah itu, yaitu Jepang. Sama pentingnya ialah perbedaan hubungan Cina dengan vasal-vasalnya di Asia Tenggara (kecuali Vietnam yang telah dicinakan) dan hubungan kekuasaan militer dan pemerintahan yang di tanamkan oleh penguasa-penguasa kulit putih di kerajaan-kerajaan jajahan mereka yang modern.
Berbeda dengan orang-orang Barat, orang-orang Cina telah merasa puas dengan menerima upeti dan barang-barang kebutuhan melalui para duta dan misi-misi perdagangan. Salah satu gejala yang paling penting bagi penggambaran kembali peta politik itu ialah kenyataan bahwa hubungan antara bangsa Asia Tenggara, baik yang bersifat damai maupun sebaliknya terdesak kebelakang untuk digantikan oleh hubungan yang sekarang diciptakan antara tanah jajahan dan negeri induk mereka yang jauh dalam sistem atlantik. Setiap daerah yang jajahan mengarahkan dan menggantungkan diri kepada pusatnya di Barat, seperti di London, Paris, Den Haag dan Washington.
Di pihak lain, di setiap jajahan-jajahan tekanan terletak pada pembentukan kesatuan teritorial dan pemerintahan, yang sebagian besar diikuti oleh integrasi unit-unit yang kecil kedalam kesatuan yang lebih luas. Filipina merupakan contoh yang pertama dari integrasi ciptaan Barat, diikuti pembentukan Hindia Belanda yang berlangsung setapak demi setapak, dan kemudian pembentukan Malaya Inggris yang berlangsung secara serampangan dan kurang sempurna, dan pembentukan Indo Cina Prancis.
Meskipun menjelang akhir abad XIX pemerintahan kolonial modern menjadi suatu kenyataan dengan banyaknya sifat yang seragam disebagian besar Asia Tenggara, tetapi pengaruhnya terhadap masyarakat pribumi sangat tidak seimbang. Perbedaan-perbedaan itu ditimbulkan oleh faktor-faktor dalam maupun oleh kebijakan-kebijakan kolonial yang berbeda-beda. Sebagai akibatnya ialah bahwa keretakan antara yang lama dengan yang baru, antara bentuk pemerintahan tradisional dan birokrasi modern betul-betul bukan merupakan fenomena yang seragam. Itu akan tampak paling sempurna kekuasaan kolonial yang telah mengenyahkan atau setidak-tidanya menggantikan pemerintahan pribumi secara praktis, dan akan paling tidak tampak bila orang-orang Barat mengijinkan bentuk yang lama itu untuk hidup terus.
Bahkan dalam Polarisasi itu biasanya dinyatakan dengan istilah pemerintahan kolonial yang “Langsung” dan “Tidak Langsung” peralihannya bermacam-macam dan hampir tidak tampak, oleh karenanya jauh dari statis. Benar juga bahwa dalam kenyataan politik perbedaan antara berbagai jenis pemerintah kolonial hanya mempunyai pengaruh yang kecil, hak dan penguasaan ada di tangan penguasa Barat, baik pelaksanaanya itu secara langsung maupun dengan melalui sebuah Protektorat. Perbedaan antara pemerintah langsung dan tidak langsung tidak sesuai untuk Filipina. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintah Spanyol maupun pemerintah Amerika awal menyentuh kepulauan itu secara langsung, tetapi jurang pemisah antara struktur pemerintahan Barat dan penduduk Asia (ataau setidak-tidaknya masyarakat elite di antara penduduk itu) jauh lebih sempit di Filipina daripada dimana saja di kawasan Asia Tenggara. Pemerintah Spanyol yang berlangsung berabad-abad tidak hanya menyerap dan mengenyahkan kehidupan politik dari zaman pra kolonial, melainkan hanya satu-satunya di antara bangsa-bangsa Asia Tenggara.
Di tanah-tanah jajahan lainnya perbedaan antara pemerintahan ditangani secara langsung, di campur dengan faktor-faktor internal yang beraneka ragam, menghasilkan spektrum yang lebar dari pola-pola politik. Pemerintahan tidak langsung dengan memelihara asas-asas lahirlah Status quo pribumi telah mengambil langkah terhadap efek-efek modernisasi yang tidak baik.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Asia Tenggara merupakan wilayah yang memiliki tanah yang subur dan kaya akan sumber daya alamnya. Dengan terjadinya kolonialisme dan imperialisme di Asia Tenggara oleh kekuatan kolonial. Maka menyebabkan terjadinya modernisasi di Asia Tenggara baik dari segi politik maupun dari segi sosial ekonomi.
Modernisasi sendiri adalah perubahan-perubahan masyarakat yang bergerak dan keadaan yang tradisional atau dari masyarakat pra modern menuju kepada sesuatu masyarakat yang modern. Menurut J.C. Scott, moral ekonomi adalah suatu analisa tentang apa yang menyebabkan seseorang berperilaku, bertindak dan beraktivitas dalam kegiatan perekonomian. J.C. Scott menyatakan bahwa moral ekonomi petani di dasarkan atas norma subsistensi dan norma resiprositas. Di mana ketika seorang petani mengalami suatu keadaan yang menurut mereka yang dapat merugikan kelangsungan hidupnya, maka mereka akan menjual dan menggadai harta benda mereka. Hal ini disebabkan oleh norma subsistensi.

Namun, dengan seiring berjalannya waktu timbul lah perubahan-perubahan yang terjadi pada kehidupan sosial ekonomi dan politik di Asia Tenggara yang disebabkan oleh kolonialisme dan imperialisme. Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya imigrasi yang dilakukan oleh beberapa negara yang disebabkan oleh faktor financial. Meskipun pada zaman kolonilalisme didirikan sekolah namun masyarakat di Asia Tenggara tetap mempunyai keterbatasan dalam mengenyam pendidikan. Kolonialisme dan imperialisme juga mengakibatkan terjadinya perubahan didalam struktur pemerintahan dan birokrasi masyarakat di Asia Tenggara.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah tentang historiografi sejarah

GERAKAN RATU ADIL DI JAWA